Sabtu, 25 Maret 2017

ETIKA BISNIS

  • DEFINISI ETIKA 

        Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.

Definisi etika menurut para ahli:

Menurut Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Menurut Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Menurut K. Bertens, dalam buku berjudul Etika, 1994. yaitu secara umum¬nya sebagai berikut:
1. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. .
2. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya.
3. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.
4. Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir
.
Menurut Maryani & Ludigdo : etika adalah seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia,baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau prifesi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut Aristoteles : di dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, Pengertian etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. dan yang kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia. 
Menurut Kamus Webster : etika adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral.
Menurut Ahli filosofi : Etika adalah sebagai suatu studi formal tentang moral.
Menurut Ahli Sosiologi : Etika adalah dipandang sebagai adat istiadat,kebiasaan dan budaya dalam berperilaku.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”.

Berdasarkan definisi diatas dapat saya simpulkan bahwa "etika adalah perilaku manusia yang dapat dinilai baik atau buruk berdasarkan kebiasaan dan budaya yang mempengaruhinya."

Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.


  • KLASIFIKASI ETIKA 
        Menurut buku yang berjudul “Hukum dan Etika Bisnis” karangan Dr. H. Budi Untung, S.H., M.M  etika dapat diklasifikasikan menjadi :
 
1. Etika Deskriptif

    Etika deskriptif yaitu etika di mana objek yang dinilai adalah sikap dan perilaku manusia dalam mengejar tujuan hidupnya sebagaimana adanya. Nilai dan pola perilaku manusia sebagaimana adanya ini tercemin pada situasi dan kondisi yang telah membudaya di masyarakat secara turun-temurun.

 2. Etika Normatif

     Etika normatif yaitu sikap dan perilaku manusia atau massyarakat sesuai dengan norma dan moralitas yang ideal. Etika ini secara umum dinilai memenuhi tuntutan dan perkembangan dinamika serta kondisi masyarakat. Adanya tuntutan yang menjadi avuan bagi masyarakat umum atau semua pihak dalam menjalankan kehidupannya.

3. Etika Deontologi
    
    Etika deontologi yaitu etika yang dilaksanakan dengan dorongan oleh kewajiban untuk berbuat baik terhadap orang atau pihak lain dari pelaku kehidupan. Bukan hanya dilihat dari akibat dan tujuan yang ditimbulakan oleh sesuatu kegiatan atau aktivitas, tetapi dari sesuatu aktivitas yang dilaksanakan karena ingin berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau pihak lain.

4. Etika Teleologi
    
    Etika Teleologi adalah etika yang diukur dari apa tujuan yang dicapai oleh para pelaku kegiatan. Aktivitas akan dinilai baik jika bertujuan baik. Artinya sesuatu yang dicapai adalah sesuatu yang baik dan mempunyai akibat yang baik. Baik ditinjau dari kepentingan pihak yang terkait, maupun dilihat dari kepentingan semua pihak. Dalam etika ini dikelompollan menjadi dua macam yaitu :
  • Egoisme yaitu etika yang baik menurut pelaku saja, sedangkan bagi yang lain mungkin tidak baik.
  • Utilitarianisme adalah etika yang baik bagi semua pihak, artinya semua pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung akan menerima pengaruh yang baik.
5. Etika Relatifisme

    Etika relatifisme adalah etika yang dipergunakan di mana mengandung perbedaan kepentingan antara kelompok pasrial dan kelompok universal atau global. Etika ini hanya berlaku bagi kelompok passrial, misalnya etika yang sesuai dengan adat istiadat lokal, regional dan konvensi, sifat dan lain-lain. Dengan demikian tidak berlaku bagi semua pihak atau masyarakat yang bersifat global.


  • PRINSIP ETIKA DALAM BISNIS 
          1. Prinsip Otonomi
  
        Otonomi merupakan sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Seseorang dikatakan memiliki prinsip otonomi dalam berbisnis jika ia sadar sepenuhnya akan kewajibannya dalam dunia bisnis. Ia tahu mengenai bidang kegiatannya, situasi yang dihadapinya, tuntutan dan aturan yang berlaku bagi bidang kegiatannya. Ia sadar dan tahu akan keputusan dan tindakan yang akan diambilnya serta risiko atau akibat yang akan timbul baik bagi dirinya dan perusahaannya maupun bagi pihak lain.

          Di samping itu ia juga tahu bahwa keputusan dan tindakan yang akan diambilnya akan sesuai atau sebaliknya bertentangan dengan nilai atau norma moral tertentu. Oleh karena itu orang yang otonom bukanlah orang yang sekedar mengikuti begitu saja norma dan nilai moral yang ada, melainkan ia tahu dan sadar bahwa apa yang dilakukan itu adalah sesuatu yang baik.

          Hal yang demikian berlaku juga dalam bidang bisnis. Misalnya seorang pelaku bisnis hanya mungkin bertindak secara etis kalau dia diberi kebebasan dan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya baik. Tanpa kebebasan ini para pelaku bisnis hanya akan menjadi robot yang hanya bisa tunduk pada tuntutan perintah, dan kendali dari luar dirinya. Hanya dengan kebebasan seperti itu ia dapat menentukan pilihannya secara tepat dalam menjalankan dan mengembangkan bisnisnya .  

          2. Prinsip Kejujuran
 
           Dalam kenyataannya, kegiatan bisnis tidak akan bisa bertahan dan berhasil kalau tidak didasarkan pada prinsip kejujuran. Sesungguhnya para pelaku bisnis modern sadar dan mengakui bahwa memang kejujuran dalam berbisnis adalah kunci keberhasilannya, termasuk untuk bertahan dalam jangka panjang, dalam suasana bisnis yang penuh dengan persaingan.
        
          Kejujuran ini sangat penting artinya bagi kepentingan masingmasing pihak dan selanjutnya sangat menentukan hubungan dan kelangsungan bisnis masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak berlaku curang, maka pihak yang dirugikan untuk waktu yang akan datang tidak akan lagi bersedia menjalin hubungan bisnis dengan pihak yang berbuat curang tersebut.
Jadi dengan berlaku curang dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian atau kontrak dengan pihak tertentu, maka pelaku bisnis sesungguhnya telah menggali kubur bagi bisnisnya sendiri. Kejujuran juga sering dikaitkan dengan mutu dan harga barang yang ditawarkan. Sebagaimana telah disampaikan di depan, dalam bisnis modern yang penuh dengan persaingan, kepercayaan konsumen adalah hal yang paling pokok untuk dipertahankan.

          Oleh karena itu sekali pengusaha menipu konsumen, entah melalui iklan atau pelayanan yang tidak sesuai dengan yang diinformasikan, konsumen akan dengan mudah lari dan pindah ke produsen yang lain. Cara-cara promosi yang berlebihan, tipu-menipu bukan lagi cara bisnis yang baik dan berhasil. Kenyataan bahwa banyak konsumen Indonesia lebih suka membeli produk dari luar negeri, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia kurang begitu percaya dengan produk buatan bangsanya sendiri.

          3. Prinsip Keadilan

            Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional, obyektif dan dapat dipertanggung jawabkan. Demikian pula prinsip keadilan menuntut agar setiap orang dalam kegiatan bisnis entah dalam relasi eksternal perusahaan maupun relasi internal perusahaan perlu diperlakukan secara sama sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.

          4. Prinsip Saling Menguntungkan

           Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Jadi kalau prinsip keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya, prinsip saling menguntungkan menuntut hak yang sama yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain. Prinsip ini terutama mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis. Dalam kenyataan, pengusaha ingin memperoleh keuntungan dan konsumen ingin memperoleh barang dan jasa yang memuaskan (harga tertentu dan kualitas yang baik) maka bisnis hendaknya dijalankan saling menguntungkan antara produsen dan konsumen.

          5. Prinsip Integritas Moral

             Prinsip ini menganjurkan agar orang-orang yang menjalankan bisnis tetap dapat menjaga nama baik perusahaan. Perusahaan harus megelola bisnisnya sedemikian rupa agar tetap dipercaya, tetap paling unggul dan tetap yang terbaik. Dengan kata lain prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan dari dalam diri pelaku bisnis dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan. Hal ini tercermin dalam seluruh perilaku bisnisnya dengan siapa saja, baik keluar maupun ke dalam perusahaan.


  • MODEL ETIKA DALAM BISNIS
          Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya :

• Immoral Manajemen

  Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankanbisnisnya.

• Amoral Manajemen

   Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.




Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar